Proses Pengolahan Limbah Industri Pengolahan Kulit

Limbah cair industri penyamakan kulit nampak paling menonjol dibandingkan limbah padat maupun gasnya karena volumenya yang cukup banyak yaitu 30-70 l / kg bahan baku yang diolah dari awal. Disamping volume yang banyak, zat- zat pencemaran yang terkandung dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan dampak yang paling cepat berpengaruh adalah berbau busuk dan kadang- kadang secara visual nampak berbuih banyak. Secara umum air limbah penyamakan kulit mengandung bagian- bagian dari kulit seperti bulu, sisa daging, potongan kulit dan bahan kimia sisa dari yang ditambahkan dalam proses penyamakan kulit.

Seperti yang terjadi pada pada kasus pencemaran Limbah Industri Kulit Sungkareng , Kabupaten Garut Jawa Barat., yang mencemari lingkungan sejak tahun 1920.Selain tantangan untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan membuka pasar, ada satu hal lagi yang juga menjadi tantangan sejak tiga dekade terakhir yaitu, limbah. Persoalan limbah sering kali menjadi isu penting. Sejak digunakannya bahan kimia untuk penyamakan kulit, pada saat itu pula persoalan limbah muncul. Bahan chroom yang digunakan untuk menyamak kulit ternyata sangat berbahaya bagi kesehatan, terutama sekali pada kulit manusia. Dampak dari limbah Sukaregang sangat dirasakan oleh masyarakat di daerah hilir sungai Ciwalen, yang notabene bukan kalangan penggiat bisnis kulit. Protes pun mulai bermunculan karena banyaknya warga di daerah hilir yang mengalami gangguan kesehatan kulit.

Untuk mengantisipasi peningkatan jumlah limbah yang dibuang ke sungai, pada awal 1980-an, saat Garut dipimpin oleh Bupati Taufik Hidayat, ada rencana untuk merelokasi sentra industri kulit Sukaregang, namun tidak terealisasi. Oleh penerusnya, Bupati Toharudin Gani rencana tersebut kembali dicoba diwujudkan namun tak juga berhasil.

Karena berbagai hambatan itu, akhirnya yang dapat dilaksanakan adalah revitalisasi. Artinya, lokasi Sukaregang akan ditata sedemikian rupa, termasuk ditetapkannya zona-zona industri serta pembatasan jumlah industri dengan dilengkapi instalasi pengelolaan air limbah (IPAL). Untuk revitalisasi ini pemerintah pusat memberi bantuan untuk membangun dua buah instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) pada 1992 agar air dari Sukaregang dapat kembali bersih saat dialirkan ke sungai. IPAL tersebut baru dapat beroperasi pada 1994, namun persoalan limbah tidak selesai karena jumlah IPAL yang ada tidak sesuai dengan jumlah limbah yang dihasilkan industri kulit Sukaregang. Kesadaran masyarakat pengusaha akan persoalan limbah ini juga kurang mendukung. Hingga kini hanya beberapa yang mau membangun IPAL sendiri. Padahal, untuk menangani masalah limbah idealnya setiap perusahaan memiliki satu mesin recovery sendiri. (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0104/13/0806.htm).

Secara garis besar proses pengolahan limbah cair penyamakan kulit adalah sbb:
Dalam proses produksi Industri penyamakan kulit ada beberapa tahapan proses pengolahan yaitu:
1. Pemisahan Padatan Kasar.
2. Segresi.
3. Ekualisasi.
4. Koagulasi.
5. Proses pengolahan limbah cair.

Agar supaya setiap tahapan pengolahan dapat berlangsung secara efektif maka sebaiknya aliran yang khas dan pekat dipisahkan untuk melewati tahap pengolahan terlebih dahulu, yaitu penghilangan sulfida, penghilangan krom kemudian dijadikan satu dalam bak ekualisasi, aliran limbah ( efluent) dengan kandungan maupun aliran keluar untuk tahahp primer.
Dari bak ekualisasi air limbah tersebut diatur pH kemudian ditambahkan larutan penggumpal dan pengendap yang selanjutnya endapan dapat dilakukan penanganan lumpur ( primer). Penanganan lumpur harus hati- hati agar tidak terlarut pada proses selanjutnya.

1. Pemisahan Padatan Kasar.
Sebelum diolah air limbah perlu disaring terlebih dahulu untuk menghilangkan padatan kasar yang dapat menutup pipa, pompa-pompa dan saluran- saluran. Pada proses ini lebih dari 30% padatan tersuspensi total dalam cairan air limbah dapat dihilangkan dengan saringan.

2. Segresi.
Pada tahap ini dilakukan pemisahan cairan-cairan limbah yang mempunyai sifat khas dan memerlukan perlakuan tertentu untuk menangani zat pencemar agar nanti setelah dicampur dengan cairan limbah yang lain tidak menimbulkan kontradiksi yang merugikan. Adapun cairan- cairan limbah dari proses penyamakan kulit yang perlu dipisahkan adalah:

Cairan limbah pengapuran (buang bulu).
Cairan limbah ini banyak mengandung Sulfida dari Na2S atau NaHS sisa dari proses buang bulu sebagai agensia perontok bulu/ rambut. Sebelum proses pengolahan segresi air limbah pada proses buang bulu berwarna putih kehijauan dan kotor, dengan konsntrasi pH 10-12,5 dengan total solid 16.000- 45.000 mg/l. Namun setelah proses pengolahan dapat menetralisir asam, serta kandungan slfida yang terkandung didalamnya dapat teratasi. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara:

1) Oksidasi Katalitik Sulfida, yaitu dengan aerasi dan pemberian mangan sebagai katalisator. Seharusnya hal ini dilakukan setiap hari untuk menghindari bau busuk (H2S) dari air limbah tampungan. Aerasi dapat dilakukan pada tang ki yang memanjang keatas (tinggi) dan udara dihembuskan dari bagian dasar melalaui difusir atau dapat juga memakai aerator.

2). Pengendapan Langsung.
Fero sulfat dan feri klorida dapat digunakan untuk menghilangkan sulfida dari larutan denganpengendapan. Pengolahan ini akan menurunkan pH karena hidroksidanya mengendap.

Cairan limbah Krom.
Pengendapan krom relatif mudah dilakukan, pengendapan limbah krom dapat mempengaruhi biaya produksi/ pengolahan limbahnya. Pada pengolahan ini menghasilkan cairan supernatan yang hampir bebas krom dan juga dapat menurunkan BOD.

3. Ekualisasi.
Proses pengolahan pada bak ekualisasi bertujuan untuk penghilangan sulfida dan krom agar dapat menghemat air yang dapat mengencerkan limbah kapran dan cairan limbah krom sebelum diolah lebih lanjut.

Pada tahapan ini juga meningkatkan efisiensi pengolahan dan untuk menghindari rancangan baik yang diantisipasi untuk aliran puncak ( peak Flow) maka dilakukan sistem pengaturan laju aliran dan pencampuran seluruh air limbah.

Praktek pencampuran ini meberi kesempatan terjadinya proses netralisasi dan pengendapan. Oleh karena itu sebaiknya air limbah dicampur dengan baik dan intensif, misalnya dengan mixer atau blower mengingat dalam bak ini padatan tersuspensinya dijaga jangan samapai mengendap dan kondisi air limbahnya harus aerobik, hal ini dapat dicapai dengan menghembuskan udara dari dasar bak melaluai beberapa difuser untuk memasok O2 yang intensif. Tenaga yang diperlukana untuk mengaduk kira- kira 30 watt/m2 air limbah. Jika dilakukan injeksi udara pada bak sedalam 2-4 m, aliran udara optimalnya 3-4 m3/jam per m2 permukaan bak. Dalam bak ekualisasi dapat dilakukan pergantian garam- garam aluminium maka penghilangan Nitrogen melalui proses nitrifikasi/ denitrifikasi perlu dilakukan.Pada tahapan ini untuk meningkatkan efisiensi pengolahan dan untuk menghindari rancangan baik yang diantisipasi untuk aliran puncak ( peak Flow) maka dilakukan sistem pengaturan laju aliran dan pencampuran seluruh air limbah.

4. Koagulasi.
Pada tahapan ini dilakukan perlakuan fisiko kimiawi untuk menghilangkan BOD dan padatan. Dengan perlakuan fisiko kimiawi yang relatif mudah dan sederhana dapat menghilangkan > 95 % padatan tersuspensi dan BOD sekitar 70%. Untuk menghilangkan BOD sepenuhnya dapat dilakukan dalam pengolahan proses biologis selanjutnya.

Perlakuan fisiko kimia terhadap air limbah penyamakan kulit terdiri dari perlakuan awal dengan pemberian penggumpal yang dilanjutkan dengan pemberian pengendap sampai dengan pemisahan lumpurannya untuk dibuang.

Efesiensi penggumpalan dapat diperoleh dengan penambahan larutan pengendap yang berupa larutan polyelektrolit anionik rantai panjang dengan konsentrasi 1-10 mg/l.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Skema pengolahan limbah cair dengan Proses Fisika Kimiawi.

5. Pengolahan Limbah Cair dengan Proses Biologis.
Dalam persyaratan baku mutu air limbah, maka perlu adanya pegolahan sekunder. Pilihan cara pengolahan sekunder untuk air limbah penyamakan kulit sbb:

Filter biologis.
Filter biologis dalam pengolahan limbah penyamakan kulit sering tidak dipertimbangkan.

Lumpur aktif (kolam oksidasi).
Pengolahan lumpur aktif pada prinsipnya adalah mempertemukan antara air limbah yang mengandung bahan pengencer organik dengan sejumlah besar bakteri aerob dan mokroorganisme lain yang terkandung dalam lumpur biologis (lumpur aktif). Pengolahan dengan lumpur aktif berbeban ringan sangat sesuai untuk air limbah penyamakan kulit. Cara ini dikenal deng oksidasi kolam PASVEER.

Lumpur aktif konvensional.
Jika dibandingkan dengan cara konvensional yang berbeban berat, maka waktu yang diperlukan adalah 2-4 hari dan beban organik yang ringan lebih mudah menahan variasi keadaan air limbah dan beban mendadak yang menjadi proses penyamakan kulit, dengan demikian lumpur yang dihasilkan berkurang. Kolam oksidasi PASVEER relatif lebih murah, dan pemeliharaannya mudah, juka dioprasikan sebagaimana mestinya dapat menghasilkan air limbah terolah dengan BOD , 20 mg/l.

Pengolah dengan lumpur aktif konvensional ( bebn berat) dapat dipilih dengan cara pegolahan sekundernya jika lahan yang ada sangat tebatas. Oksidasi berlangsung terus menerus dalam bk aerasi karena itu kebutuhan aerasinya juga agak intensif ( sampai kra- kira 1 Kw/ kg BOD). Waktu tingga l yang diperlukan hanya 6-12 jam sudah cukup.

Lagun (kolam) .
Ada pendekatan lain bagi daerah pedesaan atau yang memiliki lahan luas, yaitu kolam dapat dibuat dengan biaya rendah dan perawatan pengolahan juga sangat mudah. Ada beberapa pilihannya :

1) Kolam aerob
Dapat mengurangi sampai > 85 % BOD dalam waktu 10 hari, namun biasanya kolam tersebut mengeluarkan pencemaran udara dan memungkinkan terbentuknya kembali sulfida bersamaan dengan terlepasnya gas H2S. Hal ini sesuai bila hanya untukpemanfaatan ruang/ ahan dan biaya kolam-kolam tersebut rendah, sedangkan yang diperlukan hanya membuat kedalaman 3 meter.

2) Kolam Fakultatif.
Dengan 2 lapisan (zone) pengolahan yaitu lapisan aerob (yang ada di atas, berhubungan dengan udara) dal lapisan anaerob (zone di bawahnya). Biasanya berukuran lebih besar dari an aerob dan kurang efektif.Kolam ini lebih mengandalkan kekuatn fotosintetik dengan demikian tergantung pada perubahan musim dan tidak dapat diperiksa/ dipantau dengan baik.

3) Kolam Aerasi
Kolam ini sudah banyak dioperasikan di banyak perusahaan dan membutuhkan tenaga 10 – 30 w/m3 yang biasanya digunakan adalah aerator permukaan mekanik.

0 comments:

Post a Comment

~ Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan
~ Silahkan tinggalkan link untuk Kunjungan balik
~ Jangan gunakan kata-kata yang mengandung Menghina dan Kata sara
~ Jadilah bloger yang baik dengan mencantumkan alamat sumber saat pembuat artikel
~ Gunakan Anonimous jika tidak punya account
~ Trimakasih atas kunjungan nya

handapeunpost